Ahmad
Dardiri Zubairi adalah seorang kiai, aktivis dan cendikiawan muda NU.
Esai-esainya telah banyak tersebar di sejumlah media massa, baik daring maupun
luring. Seorang alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini telah banyak
menerbitkan sejumlah buku antara lain Rahasia Perempuan Madura (2013) Susah
Senang Bersama Si Buah Hati (2016) dan Wajah Islam Madura. Beliau dalam buku
ini terinspirasi dari Oscar Wilde yang baginya wajah pria adalah
autobiografinya dan wajah perempuan adalah karya fiksinya. Dengan
mempertanyakan bagaimana dengan wajah islam di Madura. Maka Kiai Dardiri yang
dikenal dengan sebutan Gus Dar menulis buku ini. Gus Dar sebagai cendikiawan
tidak hanya menyalin apa yang ia lihat, dengar, cium, dan yang ia rasakan
perihal islam di Madura ke dalam teks begitu saja. Melainkan beliau mencoba
melakukan analisis, cirtical perspektive,
dan think differently.
Dalam
membaca buku ini, Gus Dar membawa kita untuk mengenali wajah islam madura mulai
dari alis, hidung, pipi, mulut, dahi, dagu, serta kedip mata keislaman di Madura.
Gus Dar mengajak kita untuk menelisik ulang tentang kemaduraan dimana ketika
membahas madura tidak bisa dilepaskan dari Islam. Beliau ibaratkan Islam dan
Madura seperti asin pada air laut. Islam di Madura bukan saja bermakna sebagai
agama yang mayoritas melainkan sudah menjadi identitas kemaduraan. Terkait
tentang islam di madura tidak lepas dari bagaimana Islam diperkenalkan,
diajarkan dan dilembagakan. Dalam hal ini tidak bisa dinafikan bahwa peran
langgar madrasah, dan pesantren sebagai penerus dakwah para wali di Madura. Dan
perlu digaris bawahi bahwa tiga institusi ini yang menjadi pusat pengembangan
keislaman yang mengajarkan islam dan memiliki mata rantai keilmuan dengan
jaringan ulama nusantara. Islam yang diajarkan di madura adalah Islam ala ahlusunnah wal jamaah dimana
NU sebagai organisasi yang memelihara, dan mengkoornirkannya. Maka tidak
berlebihan jika kemudian dikenal bahwa agama orang Madura adalah agama NU.
Secara
budaya, orang Madura memiliki tradisi “tana
sangkolan” (tanah warisan). Tana
sangkolan tidak hanya sekedar warisan benda atau emas dan semacamnya. Bagi
orang Madura. Tana sangkolan dimaknai
sesuatu yang sakral. Satu sisi dimaknai sebagai ruang yang mempertautkan yang
hidup dengan leluhurnya, tana sangkolan
akan mengundang “laknat” jika dijual sembarangan tanpa adanya alasan yang
dibenarkan menurut sudut pandang kebudayaan Madura. Kalaupun tanah itu dijual,
lumrahnya akan dijual pada keluarga terdekatnya dan suatu saat jika mampu maka
tanah itu akan dibeli lagi oleh pemiliknya.
Namun
mirisnya tanah-tanah yang ada di Sumenep (salah satu kabupaten di Madura)
banyak lepas dan terjual pada inverstor, entah itu asing maupun lokal.
Sawah-sawah seluas 15 hektar diaduk-aduk mesin yang pada awalnya ditumbuhi oleh
padi yang menguning. Sekarang sawah beralih fungsi dijadikan sebagai lahan
tambak udang yang investornya dari Tiongkok. Bahkan tanah yang lepas tidak
hanya salah satu desa saja, yang paling masif di kecamatan Dungkek dan
Batang-Batang, tepatnya di desa lapa laok dan lapa daja, terutama di pesisir
pantai. Ini terus melebar ke desa Ngin-Bungin, yang termasuk dekat dengan makam
Syekh Mahfudz yang lebih dikenal dengan nama Asta Gurang-Garing, keturunan
Sunan Kudus pun sudah banyak terjual. Tidak cukup di pesisir pantai, para
investor juga menyasar ke tanah “tegalan” hingga perbukitan seperti di
kecamatan Manding dan perbukitan desa Tamidung kecamatan Batang-batang sudah
banyak terjual.
Kabar
peruntukan tanah itu bermacam-macam. Ada yang mau dijadikan perkebunan kapas,
peternakan, hingga ingin dijadikan sebagai desa kota yang sudah mendapatkan
isapan jempol karena sudah masuk dalam road map-nya Pemprov Jatim. Yang paling
diburu memang tanah-tanah di Kewedanan Timur Daya yang meliputi kecamatan
Dungkek, Batang-Batang, Gapura karena Dungkek kedepan akan dijadikan pelabuhan
nasional yang infrastrukturnya sudah mulai di bangun. Posisi pelabuhan Dungkek
kalau boleh dikatakan sangat strategis karena akan membuka akses ke indonesia
bagian timur. posisinya juga dekat dengan kawasan pariwisata seperti Badur,
Lombang, dan pulau Giliyang akan di yang akan dijadikan segitiga emas
pengembangan pariwisata bahari. Bahkan pulau Gilik Labak nanti bisa diakses
dari pelabuhan Dungkek.
Di
beberapa desa telah tertancap tanda yang dipasang pertamina pada tahun 1970. Belum lagi di perairan pulau Giliyang
dan Sepudi/Raas yang besar kemungkinan terdapat ladang migasnya. di perairan
Sepudi-Raas dalam setahun ini sudah banyak di eksploitasi oleh perusahaan
Hasky. Dalam isu pulau Giliyang, pulau ini memiliki oksigen terbaik nomor dua
di dunia lipsingnya begitu untuk menutupi kekayaan dan sumber daya alam dibawah
permukaan lautnya. Sehingga infrastruktur ke pulau tersebut dibangun karena
dicanangkan sebagai pulau “wisata kesehatan”.
Gus Dar meyakini seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pariwisata pada saat itu pula tanah-tanah di Sumenep akan beralih kepemilikan, dari Pak “tukang sate” kepada pak “Kapitalis” sejati. Ditambah dalam rentang 15 tahun terakhir jumlah orang-orang desa yang merantau terus meningkat. Saat ini tanah-tanah di Madura sudah dilucuti akan Sakralitasnya. Sakralitas tana sangkolan sepenuhnya dianggap sebagai benda yang bisa dipertukar-milikkan. Ideologi ajagha tana, ajagha nak poto (menjaga tanah, menjaga anak cucu) harus digelorakan, jika orang Madura tidak mau menjadi kuli di daerahnya sendiri.
M Nur Ghazali - Resensi Buku
0 Komentar