Oleh   :   Ayyasy Hanun (202210110311382)


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM  (FAKULTAS HUKUM)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG       

 

Media sosial merupakan sarana untuk berkomunikasi satu sama lain dan berlangsung secara online sehingga setiap orang dapat saling berkomunikasi tanpa batas ruang dan waktu. Namun, ada penyimpangan dalam penggunaan media sosial. Arti dari ungkapan ini adalah apa yang ditulis oleh jari kita di jejaring sosial dapat merugikan kita dan orang lain. Penyampaian pendapat tersebut harus dilihat sebagai upaya mengkritisi ketertiban umum dan bukan lagi sebagai pencemaran nama baik. Penggunaan pasal yang memfitnah dibenarkan sepanjang itu menghormati martabat manusia, tetapi tidak boleh digunakan hanya untuk membungkam kritik. Tentu saja, mereka yang terkena dampak tidak boleh mengabaikan hal ini. Setiap orang harus tahu bagaimana menghargai dan menghormati harga diri mereka. Dalam hidup ini, semua perbuatan kita ada akibatnya, jika kita tidak menginginkan akibat buruk, lebih baik hindari perbuatan buruk tersebut.

Sebagian besar negara di dunia mengkriminalkan pencemaran nama baik karena mengarah pada pembunuhan berkarakter. Berdasarkan studi yang diterbitkan dalam Artikel 19 Global Campaign for Free Expression, dari 168 negara yang disurvei, 158 negara mengatur pencemaran nama baik dalam hukum pidana dan 10 negara dalam hukum perdata. Data Bareskrim Polri menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, kasus pencemaran nama baik paling banyak ditangani oleh Polri dan meningkat setiap tahunnya. Selain itu, Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara percaya bahwa pejabat pemerintah, termasuk kepala daerah, kepala lembaga/departemen, menteri dan aparat keamanan, berada pada level tertinggi saat melaporkan kasus di Indonesia..

Penggunaan pasal-pasal yang menghasut menimbulkan opini publik yang bertentangan dengan semangat reformasi yang melindungi kebebasan berpendapat dan berpendapat. Di sisi lain, kami percaya bahwa masyarakat harus saling menghormati dan hal-hal yang dianggap merugikan harus ditangani. Pencemaran nama baik biasanya diartikan sebagai upaya untuk memberikan stigma negatif kepada pihak lain berdasarkan fakta-fakta palsu yang dapat merusak kehormatan, kepercayaan diri dan nama baik seseorang. Fitnah bisa berupa lisan, bisa berupa huruf dan gambar.

Sebelum adanya media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal-pasal KUHP sebagai berikut :

1.      Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.

2.      Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dengan adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 ayat (3) jika dirinci terdapat unsur berikut. Unsur objektif : (1) Perbuatan: a. mendistribusikan; b. mentransmisikan; c. membuat dapat diaksesnya. (2) Melawan hukum: tanpa hak; serta (3) Objeknya: a. Informasi elektronik dan/atau; b. dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Di Indonesia, intensitas penggunaan pasal pencemaran nama baik ini cukup tinggi dalam penerapan baik pasal UU Pidana maupun ketentuan UU ITE. Upaya perbaikan isi atau bagian pasal yang mencemarkan nama baik masih diminta oleh beberapa pihak. Bahkan peninjauan terbatas pasal pencemaran nama baik UU ITE saat ini sedang berlangsung. Adapun dugaan tindak pidana itu sendiri, berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHP hanya dapat dilaporkan kepada penyidik ​​dalam waktu 6 (enam) bulan setelah kejadian. Artinya, setelah 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik tidak dapat lagi diselidiki baik secara langsung maupun melalui media social atau internet.

Dengan demikian, komunikator memiliki kesempatan untuk bersaksi secara lisan atau tertulis bahwa niatnya benar. Jika komunikasi tidak membuktikan kebenarannya, itu disebut fitnah atau fitnah. Menurut redaksi pasal sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pencemaran nama baik diancam dengan Pasal 310(1) KUHP jika perbuatan itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu mengandung tuduhan, pencemaran nama baik. seolah-olah fitnah telah melakukan kejahatan dengan beberapa tindakan yang dimaksudkan untuk menyampaikan tuduhan agar banyak orang mengetahuinya

Kesimpulan dari penulisan ini adalah kita menghargai orang lain sebagaimana kita ingin dihormati. Dalam hidup kita harus bisa memanusiakan manusia. Setiap perbuatan menyimpang mengandung resiko berupa sanksi hukum dan sosial yang harus ditanggung oleh setiap pelaku kejahatan.